Melawan Kultur Yang Tak Mau Berubah
MEMASUKI rumah bercat putih dengan pagar besi di kawasan perumahan Pulo Mas, Jakarta Timur, terasa teduh. Di halaman tampak parkir dua motor gede besutan Harley Davidson. Ada beberapa motor lain, termasuk keluaran Happy trail. Sedangkan satu buah jeep putih juga tampak nongkrong di garasi.
Senin (8/6) sekitar pukul 20.10 WIB, sang empunya rumah, Drs H Indrodjojo Kusumonegoro alias Indro Warkop, belum datang.
Barulah pada 20.35 WIB, sang maestro komedian Indonesia itu nongol. Malam itu, tokoh yang terkenal sebagai bikers penunggang Harley-Davidson itu, usai ’kerja’ di Soraya Film, rumah produksi yang memasangnya untuk sinetron dan film.
Setelah menyapa dan menyalami kami dari Road Safety Association (RSA), Indro mempersilakan kami memasuki ruang tamu yang didiaminya sejak awal 80-an itu. Terdapat dua sofa kulit merah marun tua, selain dua bangku kulit tunggal. Di meja sudut terdapat patung kepala harimau belang, sedang di sisi sofa lainnya, berdiri tegar macan hitam yang diawetkan. Sementara itu, di sebelah pintu masuk terdapat kura-kura besar yang juga diawetkan. Mana pernak-pernik Harley-Davidsonnya? Jangan salah, di dinding terpasang lukisan besar terbuat dari kuningan sebuah motor besar dengan tulisan Harley-Davidson, sedangkan lima buah bantal sofa juga bertuliskan Harley-Davidson Motor Cycle. Untuk yang ini, di baliknya tertulis made in cina.
Ya! Anak pensiunan jenderal polisi ini memang menggandrungi motor besar di atas 500 cc besutan produsen asal Amerika Serikat (AS) itu. Bahkan, dalam pertemuan malam itu yang sejatinya ingin mengajak Indro masuk jajaran Dewan Pembina RSA, kental diwarnai perbincangan seputar Harley-Davidson. Mulai dari soal produk, sejarah organisasi pengguna Harley-Davidson di dunia dan di Indonesia, hingga soal mengurus perizinan motor tersebut. Maklum, mayoritas motor gede yang beredar di Tanah Air tidak memiliki surat alias bodong.
Membentur Tembok
Sulitnya membentuk perilaku yang tertib berkendara di jalan harus membongkar tembok kerancuan sistematis yang berdiri kokoh. Tembok yang tercipta di segala ini masyarakat, mulai dari aparatur, pengusaha, hingga masyarakat. ”Kita melawan sebuah kultur yang terlihat tidak mau berubah. Itu yang aku rasakan. Aparatnya bisa berkendara melanggar ketentuan yang ada. Perjuangan harus sabar dan pelan-pelan, mulai dari keluarga dan teman-teman kita,” ujar Indro yang pernah menjadi polisi dalam film Cara Hebat Ikut Penanggulangan Masalah Sosial (Chips, tahun 1983).
Ia bertutur bagaimana peliknya perilaku aparat penegak hukum yang memiliki ego sektoral saat bertugas di jalan raya. Belum lagi perilaku pengusaha seperti dunia hiburan yang tidak mementingkan keselamatan berkendara dalam karya sinetron dan film-nya. ”Mereka takut ratingnya gak bagus, sehingga tidak peduli dengan idealisme,” papar pria kelahiran tahun 1958 itu. Indro menyoroti itu terkaitt dengan banyaknya sinetron yang menayangkan adegan naik motor namun tidak memakai helm. Padahal, kewajiban memakai helm tertuang dalam Undang Undang No 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) maupun dalam RUU LLAJ yang telah disahkan pada 26 Mei 2009. Sanksi bagi pengendara sepeda motor yang tidak memakai helm juga cukup tegas. Ada sanksi denda sebanyak-banyaknya Rp 250 ribu dan sanksi kurungan badan selama-lamanya 1 (satu) bulan.
Jika sinetron yang memiliki kemampuan mempengaruhi masyarakat secara luas menyebarkan pemahaman seolah-olah membenarkan naik sepeda motor tanpa helm, berarti para produser dan pemilik modalnya membenarkan sesuatu yang keliru. Mengenaskan.
Meskipun, Ketua Global Road Safety Partnership (GRSP) Indonesia Giri Suseno menyangsikan implementasi aturan yang cukup kuat tadi dapat berjalan mulus. ”Koordinasi antar instansi terkait harus diperbaiki,” papar dia suatu ketika.
Mantan menteri perhubungan itu menyoroti bahwa kesadaran berkendara yang aman dan selamat harus terus digelorakan oleh masyarakat. Di sisi lain, kata dia, butuh juga sebuah gerakan yang menasional. ”Butuh sebuah kesepakatan seluruh instansi yang terkait, mulai dari kepolisian maupun birokrasi bahkan termasuk kementeri negara BUMN yang membawahi perusahaan-perusahaan milik negara,” ujar Giri.
Dalam kondisi masyarakat permisif dan aparat yang terbatas jumlah dan kesadarannya menegakkan hukum, gerakan moral menyuarakan berkendara yang aman dan selamat (safety riding) menjadi sebuah pekerjaan yang membutuhkan kesabaran. Meski terkesan sekadar berbisik di tengah gemuruh mesin keangkuhan, upaya menggulirkan untuk saling menghargai sesama pengguna jalan suatu ketika bakal membuahkan hasil. Terlebih, fakta menyebutkan sebanyak tiga nyawa melayang sia-sia setiap hari sebagai korban tewas di jalan.
”Tidak ada toleransi dalam penegakan hukum. Untuk memperbaiki citra suatu bangsa dan citra polisi adalah benahi etalasenya yakni polantas. Tindak tegas pelanggar lalin,” tegas Indro.
Pemerintah bakal menggelar seremonial Pekan Keselamatan Nasional Ketiga pada 17 Juni 2009. Pada kesempatan itu kabarnya bakal digelar deklrasi seluruh instansi terkait untuk mengatasi meruyaknya kecelakaan sistem transportasi di Tanah Air. Sebuah deklarasi yang membutuhkan tindaklanjut lebih konkret. Bukan seremonial belaka yang lenyap ketika ’pesta’ usai.
Ditulis oleh : Edo Rusyanto